Dokter Cipto
Mangunkusumo adalah seorang dokter profesional yang lebih dikenal
sebagai tokoh pejuang kemerdekaan nasional. Dia merupakan salah seorang
pendiri Indische Partij, organisasi partai partai pertama yang berjuang
untuk mencapai Indonesia merdeka dan turut aktif di Komite Bumiputera.
Di samping itu, selain aktif di Komite
Bumiputera, ia juga banyak melakukan perjuangan melalui tulisan-tulisan
yang nadanya selalu mengkritik pemerintahan Belanda di Indonesia.
Beberapa perkumpulan yang ditujukan untuk membangkitkan nasionalisme
rakyat juga pernah didirikan dan dibinanya. Kegiatannya yang selalu
berseberangan dengan Belanda tersebut membuat dirinya sering dibuang dan
ditahan ke berbagai pelosok negeri bahkan ke negeri Belanda sendiri.
Awal perjuangan Cipto Mangunkusumo, pria
kelahiran Pecangakan, Ambarawa tahun 1886, ini dimulai sejak dia kerap
menulis karangan-karangan yang menceritakan tentang berbagai penderitaan
rakyat akibat penjajahan Belanda. Karangan-karangan yang dimuat harian
De Express itu oleh pemerintahan Belanda dianggap sebagai usaha untuk
menanamkan rasa kebencian pembaca terhadap Belanda.
Ketika aktif menulis di De Express
tersebut, sebenarnya dia sudah bekerja sebagai dokter pemerintah, dalam
hal ini pemerintahan Belanda. Pekerjaan itu dia dapatkan setelah
memperoleh ijazah STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta. Saat itu dia
ditugaskan di Demak. Dan dari sanalah dia menulis karangan-karangan yang
nafasnya mengkritik penjajahan Belanda di Indonesia. Akibat tulisan
tersebut, dia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai dokter pemerintah.
Tidak bekerja sebagai dokter pemerintah
yang diupah oleh pemerintahan Belanda, membuat dr. Cipto semakin intens
melakukan perjuangan. Pada tahun 1912, dia bersama Douwes Dekker dan
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische Partij,
sebuah partai politik yang merupakan partai pertama yang berjuang untuk
mencapai Indonesia merdeka.
Ketika peringatan seratus tahun bebasnya
negeri Belanda dari penjajahan Perancis, pemeritah kolonial Belanda di
Indonesia berencana merayakannya secara besar-besaran (di Indonesia).
Para pejuang kemerdekaan merasa
tersinggung dengan rencana tersebut. Belanda dianggap tidaklah pantas
merayakan kemerdekaannya secara menyolok di negara jajahan seperti
Indonesia saat itu. Dokter Cipto Mangunkusumo bersama para pejuang
lainnya membentuk Komite Bumiputera khusus memprotes maksud pemerintah
Belanda tersebut. Namun akibat kegiatannya di Komite Bumiputera
tersebut, pada tahun 1913, dia dibuang ke negeri Belanda. Tapi belum
sampai setahun, dia sudah dikembalikan lagi ke Indonesia karena serangan
penyakit asma yang dideritanya.
Sekembalinya dari negeri Belanda, dr.
Cipto melakukan perjuangan melalui Volksraad. Di sana dia terus
melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda dan sebaliknya selalu
membela kepentingan rakyat. Karena kegiatannya di Volksraad tersebut,
dia kembali mendapat hukuman dari pemerintah Belanda. Ia dipaksa oleh
Belanda meninggalkan Solo, kota dimana dia tinggal waktu itu. Padahal
saat itu, ia sedang membuka praktik dokter dan sedang giat mengembangkan
“Kartini Club” di kota itu.
Dari Solo ia selanjutnya tinggal di
Bandung sebagai tahanan kota. Walaupun berstatus tahanan kota, yang
berarti bahwa dirinya tidak diperbolehkan keluar dari kota Bandung tanpa
persetujuan dari pemerintah Belanda, namun perjuangannya tidak menjadi
surut.
Dengan berbagai cara dirinya selalu
menemukan bentuk kegiatan untuk melanjutkan pergerakan seperti
menjadikan rumahnya menjadi tempat berkumpul, berdiskusi dan berdebat
para tokoh pergerakan nasional di antaranya seperti Ir. Soekarno
(Proklamator/Presiden pertama RI). Kegiatan-kegiatannya selama di
Bandung terutama usaha mengumpulkan para tokoh pergerakan nasional di
rumahnya akhirnya terbongkar. Dia kembali mendapat sanksi dari
pemerintah Belanda. Pada tahun 1927, dari Bandung dia dibuang ke Banda
Neira.
Di Banda Neira, dr. Cipto
mendekam/terbuang sebagai tahanan selama tiga belas tahun. Dari Banda
Naire dia dipindahkan ke Ujungpandang. Dan tidak lama kemudian
dipindahkan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Namun karena penyakit asmanya
semakin parah, sementara udara Sukabumi tidak cocok untuk penderita
penyakit tersebut, dia dipindahkan lagi ke Jakarta. Jakarta merupakan
kota terakhirnya hingga akhir hidupnya. Dr. Cipto Mangunkusumo meninggal
di Jakarta, 8 Maret 1943, dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.
Sebagai seorang dokter, dr. Cipto pernah
memperoleh prestasi gemilang ketika berhasil membasmi wabah pes yang
berjangkit di daerah Malang. Pes merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh basil yang ditularkan oleh tikus. Karena sifatnya yang
menular tersebut maka banyak dokter Belanda yang tidak bersedia
ditugaskan untuk membasmi wabah tersebut.
Kegemilangannya membasmi wabah tersebut
membuat namanya kesohor. Bahkan pemerintah Belanda yang sebelumnya telah
memecatnya dari pekerjaannya sebagai dokter pemerintah malah
menganugerahkan penghargaan Bintang Orde van Oranye Nassau kepadanya.
Namun penghargaan dari Belanda tersebut tidak membuatnya bangga.
Penghargaan tersebut malah dikembalikannya pada pemerintah Belanda.
Atas jasa dan pengorbanannya sebagai
pejuang pembela bangsa, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.109 Tahun
1964, Tanggal 2 Mei 1964 dan namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah
Sakit Umum Pusat di Jakarta.
Posting Komentar