Agus Salim dilahirkan di Kota Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat
pada tanggal 8 Oktober 1884 dan wafat di Jakarta pada tanggal 4
November 1954. Agus Salim adalah putra kelima dari pasangan Angku Sutan
Mohammad Salim dan Siti Zainab. Agus Salim juga terkenal sebagai
multi-languages,
orang yang menguasai lebih dari dua bahasa. Agus Salim menguasai tujuh
bahasa asing yaitu Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Turki, Jepang
dan Arab.
Agus Salim adalah manusia yang serba bisa, Agus Salim
adalah penerjemah, ahli sejarah, wartawan, sastrawan, diplomat praktisi
pendidikan, filsuf dan ulama. Agus Salim adalah tokoh kosmopolitan yang
tidak hanya berkiprah domestik saja seperti HOS Tjokroaminoto tetapi
sudah mendunia. Agus Salim juga dikenal kalangan cendikiawan diluar
negeri sebagai seorang jenius dalam bidang bahasa yang mampu menulis dan
berbicara dalam banyak bahasa asing. Tetapi tidak ada gading yang tak
retak, Prof. Schermerhorn menulis dalam catatan hariannya tanggal 14
Oktober 1946 bahwa hanya satu kelemahan Agus Salim, yaitu selama
hidupnya selalu melarat dan miskin.
Agus Salim diangkat sebagai
Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 657 Tahun 1961
tanggal 27 Desember 1961. Agus Salim juga mendapat tiga tanda jasa
anumerta, yaitu: Bintang Mahaputera Tingkat I (1960), Satyalencana
Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (1961), dan Pahlawan Kemerdekaan
Nasional (1961).
Nama adalah Doa Orangtua
Ketika
dilahirkan Agus Salim bernama Masyudul Haq, nama seorang tokoh dari
sebuah buku yang dibaca ayahnya. Nama adalah doa, kata nabi, maka dalam
pemberian nama itu terkandung harapan agar sang putra kelak menjadi
"pembela kebenaran". Ketika Masyudul kecil, ia diasuh oleh seorang
pembantu asal Jawa yang memanggil anak majikannya "den bagus", yang
kemudian dipendekan jadi "gus". Kemudian teman sekolah dan guru-gurunya
pun ikut memanggilnya "Agus".
Pendidikan Agus Salim
Ketika
Agus Salim berusia 6 tahun, ayahnya menjadi jaksa tinggi pada
pengadilan untuk daerah Riau dan sekitarnya. Agus Salim diterima pada
sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School).
Pada tahun
1898 setelah lulus dari ELS, Agus Salim dikirim ke Batavia untuk belajar
di HBS (Hogere Burger School). Pada tahun 1903, Agus Salim lulus
dengan angka tertinggi tidak saja di sekolahnya, tetapi juga untuk
sekolah HBS lain seperti Bandung dan Surabaya. Sejak itu nama Agus
Salim menjadi terkenal di seantero Hindia Belanda di kalangan kaum
kolonial dan terpelajar.
Agus Salim kemudian mengajukan permohonan
beasiswa untuk belajar kedokteran di negeri Belanda. Sayangnya
permohonan ini ditolak. Para gurunya mengusahakan agar Agus Salim
mendapat beasiswa di STOVIA (School tot Opleiding van Inlansche), namun
hal ini juga gagal.
Agus Salim pada Masa Penjajahan
Kemudian tahun 1905, Snouck Hurgronye mengusulkan kepada Pemerintah
Belanda agar bereksperimen dengan menempatkan tenaga pribumi pada
perwakilan Belanda di luar negeri. Agus Salim mendapat tawaran bekerja
pada konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan mengurus urusan
haji. Selama Di Jeddah, Agus Salim memperoleh kesempatan untuk
memperdalam agama Islam dan bahasa Arab kepada para ulama yang bermukin
di Mekkah. Agus Salim juga belajar agama Islam pada saudara sepupunya,
Sheikh Ahmad Khatib yang telah bermukim disana.
Selama kurang
lebih enam tahun Agus Salim berada di Arab Saudi. Akhirnya pada tahun
1911, Agus Salim pulang ke Indonesia. Kepulangannya dari Tanah Suci ini
boleh dikatakan sebagai titik tolak perjuangannya melawan Belanda.
Agus
Salim sempat bekerja pada dinas pekerjaan umum. Namun, ia keluar dari
birokrasi Belanda dan mendirikan sekolah swasta di kampungnya di Kota
Gadang. Hal ini tidak lama dikerjakannya.
Agus Salim kemudian
berangkat lagi ke Jakarta dan selanjutnya terjun ke dunia politik
melalui Syarikat Islam (menjadi ketua bersama dengan HOS Tjokroaminoto)
dan menjadi Ketua Partai Serikat Islam Indonesia.
Agus Salim juga
mencoba berbagai pekerjaan selama di Jakarta baik di organisasi politik
maupun di pemerintahan. Agus Salim beberapa kali menjadi pengelola surat
kabar dan sangat produktif menulis baik tajuk rencana maupun artikel
lainnya.
Pada tahun 1915, Agus Salim menjadi Redaktur II di
Harian Neratja dan tidak lama kemudian menjadi pemimpin redaksi. Agus
Salim pernah menjadi pemimpin redaksi pada Harian Hindia Baroe, Surat
Kabar Fadjar Asia, Harian Moestika dan membuka kantor Advies en
Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Dalam harian Neratja, 25 September 1917, Agus Salim menulis
"dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang".
Pada
tahun 1925, Agus Salim membentuk Jong Islamieten Bond, tempat
berkumpulnya anak-anak muda Muslim yang kemudian setelah proklamasi
tergabung dalam Partai Masyumi, suatu partai moralis pembela demokrasi.
Agus
Salim adalah bukan saja sosok yang sangat menghargai demokrasi tetapi
Agus Salim juga sangat menghargai hukum hal ini terlihat dalam
tulisannya pada harian Fadjar Asia tanggal 29 November 1927, Agus Salim
menulis tentang “Polisi dan Rakyat" :
“sikap polisi terhadap
rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang
yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum
berubah-buah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang
mencabut “pengakuan" di depan polisi yang lahir bukan karena betul
kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa".
Agus Salim juga menaruh perhatian khusus terhadap para hakim.
“Jika negeri hendak selamat, haruslah pengadilan berderajat tinggi
dalam anggapan orang ramai di negeri ini. Dan hakim-hakim, istimewa
yang mengepalai majelis pengadilan wajiblah selalu menunjukkan sikap
kebesaran yang anggun, disertai kesabaran, keramahan dan kemurahan,
yang menunjukkan ia menjaga jalannya hukum dengan sungguh-sungguh,
dengan memakai timbangan yang jernih, yang sekali-sekali tidak boleh
kecampuran pengaruh cinta dan benci, yang kira-kira boleh memincangkan
teraju timbangannya" (Fadjar Asia, 26 Juni 1928).
Meskipun
Agus Salim mahir berbahasa asing, Agus Salim justru menunjukan
kecintaannya terhadap bahasa Indonesia dengan berpidato dalam bahasa
Indonesia pada sidang Dewan Rakyat (Volksraad) sehingga menggegerkan
Belanda. Agus Salim adalah orang Indonesia pertama yang berpidato dengan
bahasa Indonesia pada Dewan Rakyat ini. Karena apa yang telah
diputuskan oleh lembaga ini tidak diindahkan oleh pemerintah Hindia
Belanda, Agus Salim keluar dari dewan tersebut tahun 1923. Agus Salim
menamakan Volksraad sebagai “komedi omong".
Pada masa penjajahan
Jepang Agus Salim ikut aktif menjadi anggota Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan karena kemampuan bahasa
dari Agus Salim maka ia diminta menjadi anggota Panitia Sembilan yang
berperan besar dalam perumusan Pembukaan Undang - Undang Dasar (UUD)
1945, yang semula berjudul Piagam Jakarta.
Masa Kemerdekaan Indonesia
Semasa
penjajahan Belanda, Agus Salim tidak pernah ditangkap Belanda. Baru
setelah Indonesia merdeka Agus Salim beberapa kali diasingkan bersama
dengan pemimpin nasional lainnya. Salah satu sebab adalah karena
kepandaiannya dalam berdiplomasi. Agus Salim sangat pandai dalam
menyampaikan kritik tajam dan peda kedalam bentuk yang halus dan cerdas.
Setelah
Indonesia merdeka, Agus Salim beberapa kali menduduki posisi menteri
muda yaitu Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Syahrir II pada tahun 1946
dan Kabinet III pada tahun 1947. Agus Salim juga kemudian menjadi
menteri luar negeri yaitu Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin
pada tahun 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta pada 1948 - 1949.
Pengakuan
negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia tahun 1947 dapat
dianggap sebagai jasa Agus Salim setelah sebelumnya, sempat selama tiga
bulan Agus Salim mengembara di Timur Tengah dengan kondisi keuangan
yang sangat terbatas sebagai utusan negara yang baru merdeka. Agus
Salim juga pernah mengetuai delegasi Indonesia dalam Inter Asian
Relation Conference di India.
Pada tahun 1952, Agus Salim menjabat sebagai Ketua pertama dari Dewan Pers Indonesia.
Pengakuan Internasional
Pengetahuannya
yang luas mengenai Islam menyebabkan Agus Salim menjadi dosen tamu di
Universitas Cornell dan Princenton University, Amerika Serikat.
Kemampuan
bahasa dan keluasan ilmu pengetahuan menyebabkan Agus Salim menguasai
suatu diskusi atau percakapan. Prof George Kahin menuturkan bahwa suatu
hari ia mengundang Agus Salim dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen
Cornell University. Agus Salim waktu itu sebagai pembicara tamu di
Cornel University tersebut sedangkan Ngo Dinh Diem, juga pandai
berpidato dan berdebat, saat itu sedang mengumpulkan dukungan bagi
Vietnam Selatan. Kahin terperangah karena kedua tokoh itu ternyata sudah
asyik berdebat dalam bahasa Perancis. Ternyata Agus Salim dapat membuat
Ngo Dinh Diem menjadi pendengar saja.
Ketika mengajar di Cornell
University , Agus Salim tidak melupakan kebiasaan mengisap rokok kretek,
sehingga para muridnya menjadi tidak asing lagi dengan bau rokok kretek
yang eksotik itu.
Seperti kebanyakan orang Minangkabau, Agus
Salim tidak pernah rendah diri dalam berhadapan tokoh asing. Ketika
mewakili Presiden Soekarno menghadiri upacara penobatan Ratu Inggris
Elisabeth tahun 1953, Agus Salim kesal dengan suami ratu yaitu Pangeran
Philip yang kurang perhatian terhadap tamu asing yang datang dari
negeri-negeri yang jauh. Agus Salim menghampiri dan mengayun-ayunkan
rokok kreteknya di sekitar hidung sang pangeran. "Apakah Paduka
mengenali aroma rokok ini? " Dengan ragu-ragu menghirup rokok itu, sang
pangeran mengakui tidak mengenal aroma tersebut. Agus Salim pun dengan
tersenyum berujar “Itulah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa
Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya". Maka suasana pun
menjadi mencair, sang pangeran mulai ramah meladeni tamunya.
Perbedaan Adalah Rahmat
Dalam
sebuah kesempatan sewaktu mengajar di Cornell University, Agus Salim
mampir di Washington dan bertemu dengan warga Indonesia. Inilah petikan
pesannya kepada pemuda yang masih relevan dengan kondisi kita
sekarang,
"Begitu pula di Tanah Air kita. Janganlah
pemuda-pemuda Indonesia bimbang tentang adanya berbagai-bagai partai.
Bukan uniformitas yang mencapaikan tujuan yang tinggi-tinggi, tetapi
besef, kesadaran tentang unitas (kesatuan dan persatuan) dalam
berlain-lainan asas, dalam berlain-lain pendapat, satu bangsa, satu
Tanah Air, selamat sama selamat, celaka sama celaka. Bukan satu saja,
bukan uniform, tapi gerich of het gemeenschappelijk nut, bertujuan pada
keselamatan bersama karena keselamatan masing-masing yang tidak membawa
keselamatan bersama tidak akan tercapai".
Islam Moderat
Sebagai Ulama, Haji Agus Salim ikut aktif selama duduk pada Panitia Sembilan yaitu memperjuangkan dihapusnya tujuh kalimat
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk - pemeluknya”.
Keberhasilan Agus Salim ini mengecewakan Soekarno yang sejak awal
mendukung terbentuknya Indonesia sebagai negara Islam. Peristiwa ini
adalah sejarah besar karena menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara
demokrasi modern yang tidak menempatkan salah satu agama sebagai agama
negara namun tetap mengacu pada syariat Islam.
Agus Salim juga
menganjurkan agar masyarakat selalu mengikuti Al Quran dan Sunnah Rasul
dan karena itu Agus Salim menekankan perlunya pemberdayaan masyarakat
melalui gerakan - gerakan swadaya masyarakat.
Agus Salim juga
menentang pembedaan antara pria dan wanita yang dilakukan dengan membuka
tabir pembatas tempat duduk pria dan wanita. Agus Salim adalah
penganut paham "Memimpin adalah Menderita, Memimpin adalah Melayani".
Agus
Salim juga menolak pandangan yang membagi dunia menjadi dua antara
Islam dan Non-Islam. Ia melihat bahwa dunia Islam dan dunia Barat adalah
dua buah sumber daya yang harus dimanfaatkan.
Pada tahun 1953
dalam kuliah - kuliahnya di Cornell University, Agus Salim sudah
berbicara mengenai pentingnya modernitas Islam, pluralisme dan pemahaman
Jihad yang bukan semata-mata perjuangan fisik yang bila harus
didefinisikan berarti kerja keras untuk membela kebenaran bukan
menyerang atau agresi.
Menurut Agus Salim dalam Al Quran ada tiga
kata yang yang merupakan satu akar dengan jihad, yakni ’juhd-un yang
mengarah pada pengertian kerja keras; kedua, ijtihad yang lebih menunjuk
kesungguhan dari segi pemikiran atau intelektualitas; ketiga,
mujahadah, dalam arti mengarah pada spiritual exercise, sebuah olah
rohani yang sungguh- sungguh yang biasa dilakukan kaum sufi.
Kehidupan Pribadi Agus Salim
Agus
Salim menikah pada tahun 1912, dengan gadis sedesanya di Minangkabau,
Zaitun Nahar. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai delapan anak. Mereka
adalah Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiyang,
Ahmad Syauket, Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik.
Agus
Salim sebetulnya tokoh sangat disiplin dalam mendidik dirinya dan
keluarga. Setelah anaknya yang pertama lahir, selama 18 tahun Salim
sekeluarga hanya makan sayur segar tanpa daging sama sekali. Padahal
dalam keluarga Minang, makan daging seperti rendang adalah santapan
utama. Ada dua alasan yang mendorongnya melakukan hal tersebut. Pertama,
seperti diceritakan oleh anaknya, karena ia menderita ambeien, oleh
dokter dianjurkan untuk banyak makan sayur dan berpantang daging. Namun
ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa Agus Salim takut karena
istrinya adalah saudara sepupunya sendiri, kuatir hal itu menyebabkan
anak-anaknya cacat. Oleh sebab itu perlu dilakukan diet kesehatan yang
sangat ketat agar putra-putrinya yang dilahirkan juga sehat.
Yang
menarik dari Agus Salim adalah perhatian yang besar pada keluarganya.
Ini terlihat misalnya bagaimana ia mendidik sendiri seluruh anak -
anaknya. Bahkan isterinya pun ia wajibkan mengikuti pelajaran yang ia
berikan di rumah. Tujuannya, menurut Agus Salim, adalah agar
anak-anaknya tidak terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan kaum
penjajah.
Selain itu, Agus Salim ingin membentuk sikap dan
kepribadian anak-anaknya sesuai dengan keinginannya. Pelajaran yang Agus
Salim berikan kepada anak-anaknya antara lain tulis-baca, bahasa asing,
budi pekerti, dan pelajaran agama. Agus Salim juga mendidik mereka agar
bersifat kritis dan korektif. Sebab itu Agus Salim tak permah marah
bila anak-anaknya membantah pendapatnya. Agus Salim pun senang mengajak
mereka berdiskusi, berargumentasi, agar pikiran mereka tidak membeku dan
tidak bersikap nrimo saja.
Kehidupan rumah tangga Agus Salim
sangat sederhana. Kebiasaan Agus Salim yang unik adalah kurang lebih
setiap enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat
tidur rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar
tidur. Agus Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa
mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah
tempat atau rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri.
Agus
Salim adalah manusia merdeka. Merdeka dalam berhadapan dengan penjajah,
merdeka dalam berurusan dengan keluarga, kerabat dan bangsanya sendiri.
Merdeka dalam memilih lapangan pekerjaan, merdeka dalam berbusana (yang
baik), merdeka dalam bersuara. Merdeka dalam bidang pendidikan.